Ada dua hiburan yang belakangan ini saya konsumsi secara reguler. Yang pertama adalah Kotaku, situs yang ngakunya sih media game tapi isinya malah review Oreo dan tips pacaran. Kedua yaitu channel YouTube punya Marie Forleo, seorang motivator asal Amerika yang disebut-sebut oleh Oprah Winfrey sebagai “thought leader of the next generation”.

Kotaku sendiri sudah sedari dulu suka saya kunjungi karena saya punya minat yang besar terhadap game, tapi tidak hanya Kotaku. Saya juga suka baca-baca situs lain, seperti Gematsu atau Siliconera, tapi belakangan ini saya sudah tidak seaktif dulu lagi mengikuti berita game. Jadi saya hanya mengikuti satu saja, yaitu Kotaku.

Sementara Marie Forleo ini, mungkin kesannya agak aneh ya. Apalagi kalau kamu mengenal saya, mungkin kamu akan bertanya-tanya, “Orang kayak Ayyub nonton video motivasi? Lagi kesurupan apa?” Sebenarnya saya nggak anti terhadap motivasi atau hal-hal positif lainnya, walaupun mungkin di sehari-hari saya terlihat negatif atau jaded. Saya suka Marie Forleo karena pesan-pesan yang disampaikan itu nyambung, down to earth, dan sering kali membuat saya surprised. I like to be surprised, in a good way. Ketika ada orang dengan pemikiran yang buat saya baru, tidak pernah terlintas di kepala, saya selalu merasa ingin mendengar dan memahami lebih jauh. Because there’s no such thing as too much knowledge!

Apa hubungan antara Kotaku dan Marie Forleo? Ini sebenarnya bukan hubungan yang benar-benar direct ya, lebih ke arah mereka berdua kebetulan membahas sesuatu dengan topik yang beririsan, yaitu decision making. Baru-baru ini saya menonton video Marie Forleo yang berjudul Decision Detox: How Making Less Choices Gives You More Freedom. Sementara Kotaku baru-baru ini menyundul artikel lama yang berjudul Your Strategy Guide to Life.

Artikel dan video tersebut berkata hal yang sama tentang decision making, yaitu bahwa decision making itu butuh energi. Mengutip dari artikel Kotaku, “Every decision you have to make costs willpower, and decisions where you have to suppress an appealing option for a less appealing one (e.g. exercise instead of watch TV) require a lot of willpower.”

Bahasa simpelnya, decision making itu capek.

Decision making in RPGs

Saya sangat suka RPG. Baik JRPG maupun WRPG, sebetulnya keduanya saya sama-sama suka. JRPG favorit saya dalam beberapa tahun terakhir ini adalah Tales of Innocence R, sementara di sisi WRPG saya ngefans berat dengan Deus Ex: Human Revolution yang menurut saya sangat brilian. Tapi meskipun saya suka WRPG, saya hampir tidak pernah menamatkannya, termasuk Deus Ex: Human Revolution yang sangat saya gandrungi itu.

Sepertinya satu-satunya WRPG yang saya tamatkan seumur hidup hanya Fable: The Lost Chapters, itu pun sudah sangat lama sekali, di tahun 2006. Saya dulu main Icewind Dale, nggak tamat. Saya main The Witcher pertama, nggak tamat juga. Saya sangat suka Skyrim, tapi ya sama, nggak tamat. Fallout 3, Mass Effect, Kingdoms of Amalur, Pillars of Eternity, Shadowrun: Dragonfall, ini semua masuk ke dalam daftar WRPG yang saya main, dan suka, tapi nggak pernah tamat.

Saya sering mencoba merenungkan, apa sih sebetulnya yang membuat saya tidak betah main berbagai game di atas? Saya sempat mengira bahwa jawabannya adalah terlalu banyak fetch quest, atau dunia yang terlalu luas, atau mungkin playtime yang terlalu panjang. Tapi saya masih tidak yakin penyebabnya apa.

Kemudian saya menyadari, penyakit yang sama ternyata saya alami juga dengan JRPG. Bahkan tidak hanya JRPG, tapi juga genre lain, seperti visual novel. Saya sangat suka Atelier Totori, tapi saya hanya main sampai dapat satu ending saja kemudian berhenti. Saya suka Just Deserts, tapi setelah main sampai dapat satu ending saya juga berhenti. Begitu pula dengan Chrono Trigger, Valkyrie Profile, Private Nurse, dan entah berapa banyak game lagi yang bernasib sama. Tidak separah WRPG memang, setidaknya saya main sampai tamat. Tapi saya hanya betah menamatkan sekali, dan tidak mengejar ending lain kecuali ending lainnya bisa didapatkan tanpa harus mengulang terlalu jauh.

Jadi kenapa saya nyaris tidak pernah betah main WRPG sampai tamat? Setelah membaca artikel Kotaku tadi, dan menonton video Marie Forleo, saya akhirnya tahu alasannya: I hate choices.

Mass Effect - Screenshot 1
Terkadang choices bisa memberikan momen berkesan sih, seperti adegan ini. Tapi most of the time, they’re just a pain.

Dialogue trees. Multiple endings. Character recruitment. “Your choice matters,” slogan yang sangat sering dijadikan alat jualan oleh developer WRPG. Kalau ada pilihan yang harus saya ambil, artinya pada saat bersamaan ada pilihan yang harus saya lewatkan. Kalau sebuah game punya ending lebih dari satu, artinya saya harus mengulang sebuah pengalaman yang sudah pernah saya rasakan hanya demi adegan akhir yang berbeda. Lebih parah lagi kalau pilihan di suatu game ternyata berpengaruh ke sekuelnya. Dear Lord. Saya harus main ulang berapa kali?

Ini semua melelahkan.

I just want to enjoy the ride

Ada istilah yang namanya Fear of Missing Out alias FOMO. Kalau saya main sebuah game, saya ingin mendapatkan pengalaman yang komplet, dari awal hingga selesai. Saya tidak ingin ketika saya berdiskusi dengan seorang teman tentang game tersebut, ada hal yang saya tidak tahu karena saya mengambil pilihan berlawanan. Ini bukan rasa takut sih, tapi lebih ke arah tidak nyaman saja. Kalau saya ingin pengalaman komplet, saya harus main ulang dan mengambil pilihan berbeda. Padahal main ulang itu rasanya jelas beda dengan main pertama kali. Keseruannya berkurang karena ada hal-hal yang kita sudah tahu. Daripada main satu game yang sama berulang-ulang, lebih baik move on ke game lain, bukan?

I hate choices in video games. Kehidupan nyata sudah cukup demanding dengan mengharuskan kita mengambil pilihan-pilihan setiap waktu. Dan seperti kata Kotaku tadi, mengambil pilihan itu butuh willpower. Butuh resource mental. Mungkin saya orangnya terlalu serius, sehingga pilihan dalam game pun dipusingkan. It’s just a game! Tapi ya gimana ya, memang gitu. Gara-gara FOMO, saya pasti kepikiran kalau ada sesuatu yang saya lewatkan di game yang saya mainkan.

Saya main game untuk hiburan, untuk menyenangkan diri, untuk istirahat. Jadi ketika game menuntut saya untuk mengeluarkan effort banyak demi pengalaman komplet, itu rasanya tidak nyaman. Saya hanya ingin bertualang, menikmati cerita, enjoy the ride, dan ketika sampai di akhir, merasa lega.

That’s why, for me, JRPG > WRPG.

Atelier Totori - Screenshot 1

By the way, Final Fantasy XIII is a good game. Dan mungkin saya tidak akan pernah main NieR: Automata.